Menyenja

“Entahlah.”

“Eeeh? Kenapa ‘entah’? Kukira dulu kau punya berbagai alasan dan menceritakannya padaku, menggebu-gebu!”

“Masa?”

“Iya, aku ingat.”

“Kau ingat?”

“Mm hm. Aku selalu ingat.”

Aku membuang pandangan ke arah jendela. Tampaknya lama sekali kami berbincang-bincang, cahaya matahari sudah tertutupi awan, gelap. Angin pun mulai menyelusupi kamarku.

“Yah… entah. Dulu mungkin… haha. Mungkin aku terlalu naïf, dulu..”

“Sekarang tidak, begitu?”. Aku beralih memandangnya untuk memastikan apakah pertanyaannya itu sejenis sarkasme atau bukan. Dia menatapku serius, dahinya berkerut, mata dan bibirnya membulat.

“Tidak tahu,” senyum terbentuk begitu saja di bibirku, hatiku bergetar. Tertawa. “Aku rasa jika lima tahun lagi pertanyaan yang sama ditanyakan lagi kepadaku, jawabannya tetap sama. ‘Aku yang dulu terlalu naïf.’ Entah kapan kenaifan ini akan hilang,”

“Jadi sekarang kau merasa tidak naïf?”

“Ah kau membuatku pusing.” Aku memutuskan langit sore itu pantas untuk diamati. Aku menjadikan tanganku bantal dan berbaring menghadap jendela.

“Katakan yang kau rasakan, Chi,” wajahnya tepat di atas wajahku. Matanya sangat bulat.

“Chi… kau tahu, namaku dieja ‘Kai’ dalam statistik,” aku terkikik.

“Jangan mengalihkan pembicaraan, Chi.” Nada bicaranya serius sekali. Yah, apa boleh buat.

“Aku hanya merasa… mmm, tidak pantas?” semakin kufokuskan mataku ke awan yang abu-abu, semakin terasa kabur penglihatanku. Hening. Ku lirik dia, nampaknya memang sore ini langit di jendelaku sangat menarik, seperti kembang api malam yang lalu.